Banyaknya grup teater yang hidup di daerah menjadi kekayaan tersendiri bagi perteateran Nusantara. Setiap daerah mempunyai ciri khas dan keunikan yang digali dari kehidupan dan sumber daya alam yang ada di tempatnya. Variasi bentuk naskah dan properti menjadi daya tarik dan nilai tambah bagi berlangsungnya teater.
Di tengah arus globalisasi dan perubahan zaman, teater tradisional di berbagai daerah sampai sekarang masih dapat dinikmati oleh peminatnya. Mereka hidup dengan caranya sendiri demi kelangsungan pementasan. Ada yang tetap mempertahankan pakem dengan pola-pola yang telah diwariskan pendahulunya, tetapi tak jarang pula para pelaku teater berkompromi dengan hal-hal yang baru sesuai dengan tuntutan penonton. Hal tersebut secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada variasi dan bertambahnya tontonan teater yang berkembang di masyarakat. Secara garis besar, jenis teater yang ada dan dikenal di Nusantara adalah teater tradisional dan teater modern.
a. Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Untuk menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, kita dapat menemukannya pada berbagai prasasti di zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa pada zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karena itu, pertunjukan wayang dianggap sebagai kesenian tradisi yang sangat tua. Namun, bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia zaman purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.
b. Wayang Wong (Wayang Orang)
Wayang wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari wayang kulit yang dipertunjukkan dalam bentuk berbeda, dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, dan tidak memakai topeng.
Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang begitu populer. Lahirnya wayang orang dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan bentuk wayang kulit yang dapat dimainkan oleh orang sehingga dalang yang memainkannya tidak muncul, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri. Wujud pergelarannya berbentuk drama, tari, dan musik.
Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Namun, dalang tersebut tidak berperan seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Dalang dalam wayang wong Madura ditempatkan di balik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh sang dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-gerakkan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh sang dalang. Di Madura, pertunjukan ini dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog. Namun, pemain harus pandai menari.
c. Mak Yong
Mak yong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Mak yong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya, kesenian mak yong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya mak yong dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda, dan cerita-cerita kerajaan. Mak yong digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat mak yong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar mak yong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan mak yong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan mak yong yang akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, seorang pawang (sesepuh dalam kelompok mak yong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.
d. Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatra Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan. Teater tradisional randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar randai, yaitu sebagai berikut.
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian. Kesenian yang paling populer yaitu mamanda yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat.
Pada 1897, rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka datang ke Banjarmasin yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan.
Sebelum mamanda lahir, telah ada bentuk teater rakyat yang dinamakan bada moeloek, yang berasal dari kata ba abdoel moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul cerita Abdoel Moeloek karangan Saleha.
f. Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Lenong yang ada pada saat ini sudah sangat berbeda jauh dibandingkan dengan lenong zaman dahulu. Lenong sekarang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya. Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang disebut topeng Betawi, lenong, topeng blantek, dan jipeng atau jinong. Pada kenyataannya, keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang ditampilkan dan musik pengiringnya.
Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater nontradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional dipengaruhi juga oleh teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar 1805. Pementasan tersebut berkembang hingga ke Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) pada 1821.
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater nontradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa). Sastra lakon mulai diperkenalkan dengan lakon ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan, muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan oleh Willy Klimanoff alias A. Pedro pada 21 Juni 1926. Kemudian, lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, dan Sandiwara Tjahaja Timoer.
Pada masa teater transisi, istilah teater belum muncul. Istilah yang ada saat itu adalah sandiwara. Karenanya, rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada zaman Jepang dan permulaan zaman kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah zaman kemerdekaan.
a. Teater Indonesia 1920-an
Teater pada masa kesusastraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia. Namun, cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan, yakni naskah-naskahnya. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan.
Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu akibat penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya: kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926).
Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga yang membebaskan putri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933), Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama, Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil, Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring, Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong, dan Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu.
Lakon-lakon tersebut ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan, presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
b. Teater Indonesia 1940-an
Pada masa penjajahan Jepang, semua unsur kesenian dan kebudayaan dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Meskipun demikian, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat memikirkan pendirian Pusat Kesenian Indonesia. Tujuannya untuk menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi-kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Oleh karena itu, pada 6 Oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia. Pengurus badan ini adalah Sanusi Pane (ketua), Mr. Sumanang (sekretaris), serta Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Kama Jaya (anggota).
Pada masa pendudukan Jepang, kelompok rombongan sandiwara yang berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini, semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya.
Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Rombongan sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show dengan peragawati gadis-gadis Indo-Belanda yang cantik-cantik.
Selanjutnya, muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
Hingga 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu (barisan propaganda Jepang) karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina yang terkenal sebagai “raja drum”. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. Cerita-cerita yang dipentaskan antara lain: Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada 6 April 1943 mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilkan hiburan berupa tari-tarian. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, dan Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah difilmkan, yaitu Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya sastra yang cukup berarti, yaitu Penggemar Maya (1944), pimpinan Usmar Ismail dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis, dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme, dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Karena itu, teori teater perlu dipelajari secara serius. Pandangan Penggemar Maya ini kemudian menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
c. Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan. Mereka juga merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keikhlasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-Titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956), dan Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara itu, ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan pascaperang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Achdiat K. Mihardja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan modern. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater Barat dan dipengaruhi oleh idiom Henrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov. Adapun metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Alumni ATNI yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta 1955, Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Adapun Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.
d. Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim Lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Karya penyutradaraannya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Ia juga berakting dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962) dan The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser teater rakyat Sunda. Jim Lim juga menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950).
Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada 1967, ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).
Pusat kesenian Taman Ismail Marzuki yang didirikan oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada 1970 menjadi pemicu meningkatnya aktivitas dan kreativitas berteater di Jakarta dan kota besar lainnya, seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, dan Ujung Pandang. Taman Ismail Marzuki menerbitkan enam puluh tujuh judul lakon yang ditulis oleh tujuh belas pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus.
Tokoh-tokoh teater yang muncul pada 1970-an lainnya adalah Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum, dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (Teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.
e. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus dan dewan kampus merupakan akibat peristiwa Malari 1974. Dalam latar situasi seperti itu lahirlah beberapa kelompok teater dari festival teater. Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antara lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung. Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit.
Aktivitas teater terjadi juga di kampus. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik dalam teater.
f. Teater Kontemporer Indonesia
Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak 1980-an sampai saat ini. Meskipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.
Di tengah arus globalisasi dan perubahan zaman, teater tradisional di berbagai daerah sampai sekarang masih dapat dinikmati oleh peminatnya. Mereka hidup dengan caranya sendiri demi kelangsungan pementasan. Ada yang tetap mempertahankan pakem dengan pola-pola yang telah diwariskan pendahulunya, tetapi tak jarang pula para pelaku teater berkompromi dengan hal-hal yang baru sesuai dengan tuntutan penonton. Hal tersebut secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada variasi dan bertambahnya tontonan teater yang berkembang di masyarakat. Secara garis besar, jenis teater yang ada dan dikenal di Nusantara adalah teater tradisional dan teater modern.
1. Teater Tradisional di Indonesia
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, bergantung pada kondisi dan sikap budaya masyarakat, serta sumber dan tata-cara tempat teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.a. Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Untuk menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, kita dapat menemukannya pada berbagai prasasti di zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia zaman purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.
b. Wayang Wong (Wayang Orang)
Wayang wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari wayang kulit yang dipertunjukkan dalam bentuk berbeda, dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, dan tidak memakai topeng.
Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang begitu populer. Lahirnya wayang orang dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan bentuk wayang kulit yang dapat dimainkan oleh orang sehingga dalang yang memainkannya tidak muncul, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri. Wujud pergelarannya berbentuk drama, tari, dan musik.
Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Namun, dalang tersebut tidak berperan seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Dalang dalam wayang wong Madura ditempatkan di balik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh sang dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-gerakkan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh sang dalang. Di Madura, pertunjukan ini dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog. Namun, pemain harus pandai menari.
c. Mak Yong
Mak yong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Mak yong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya, kesenian mak yong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya mak yong dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda, dan cerita-cerita kerajaan. Mak yong digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat mak yong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar mak yong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan mak yong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan mak yong yang akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, seorang pawang (sesepuh dalam kelompok mak yong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.
d. Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatra Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan. Teater tradisional randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar randai, yaitu sebagai berikut.
- Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba dan disampaikan lewat gurindam, dendang, dan lagu. Diiringi oleh alat musik tradisional Minang yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
- Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerakan silat tradisi Minangkabau dengan berbagai variasi.
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian. Kesenian yang paling populer yaitu mamanda yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat.
Pada 1897, rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka datang ke Banjarmasin yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan.
Sebelum mamanda lahir, telah ada bentuk teater rakyat yang dinamakan bada moeloek, yang berasal dari kata ba abdoel moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul cerita Abdoel Moeloek karangan Saleha.
f. Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Lenong yang ada pada saat ini sudah sangat berbeda jauh dibandingkan dengan lenong zaman dahulu. Lenong sekarang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya. Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang disebut topeng Betawi, lenong, topeng blantek, dan jipeng atau jinong. Pada kenyataannya, keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang ditampilkan dan musik pengiringnya.
2. Teater Transisi di Indonesia
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model yang memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, kemudian dinamakan teaterbangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Penyajian cerita dilakukan dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Teater transisi mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan.Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater nontradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional dipengaruhi juga oleh teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar 1805. Pementasan tersebut berkembang hingga ke Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) pada 1821.
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater nontradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa). Sastra lakon mulai diperkenalkan dengan lakon ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan, muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan oleh Willy Klimanoff alias A. Pedro pada 21 Juni 1926. Kemudian, lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, dan Sandiwara Tjahaja Timoer.
Pada masa teater transisi, istilah teater belum muncul. Istilah yang ada saat itu adalah sandiwara. Karenanya, rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada zaman Jepang dan permulaan zaman kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah zaman kemerdekaan.
3. Teater Modern
Teater modern adalah bentuk teater yang telah mengalami pengaruh dari teater Eropa atau lebih dikenal dengan teater Barat. Pengaruh tersebut bisa berupa sebagian yaitu hanya naskahnya saja, propertinya, set dekorasi panggung, penempatan panggung, karakter dan penokohan, penentuan alur cerita, dan sebagainya. Bisa juga pengaruhnya total semua diterapkan dalam sebuah pementasan.a. Teater Indonesia 1920-an
Teater pada masa kesusastraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia. Namun, cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan, yakni naskah-naskahnya. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan.
Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu akibat penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya: kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926).
Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga yang membebaskan putri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933), Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama, Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil, Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring, Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong, dan Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu.
Lakon-lakon tersebut ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan, presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
b. Teater Indonesia 1940-an
Pada masa penjajahan Jepang, semua unsur kesenian dan kebudayaan dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Meskipun demikian, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat memikirkan pendirian Pusat Kesenian Indonesia. Tujuannya untuk menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi-kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Oleh karena itu, pada 6 Oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia. Pengurus badan ini adalah Sanusi Pane (ketua), Mr. Sumanang (sekretaris), serta Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Kama Jaya (anggota).
Pada masa pendudukan Jepang, kelompok rombongan sandiwara yang berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini, semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya.
Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Rombongan sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show dengan peragawati gadis-gadis Indo-Belanda yang cantik-cantik.
Selanjutnya, muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
Hingga 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu (barisan propaganda Jepang) karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina yang terkenal sebagai “raja drum”. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. Cerita-cerita yang dipentaskan antara lain: Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada 6 April 1943 mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilkan hiburan berupa tari-tarian. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, dan Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah difilmkan, yaitu Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya sastra yang cukup berarti, yaitu Penggemar Maya (1944), pimpinan Usmar Ismail dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis, dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme, dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Karena itu, teori teater perlu dipelajari secara serius. Pandangan Penggemar Maya ini kemudian menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
c. Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan. Mereka juga merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keikhlasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-Titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956), dan Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara itu, ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan pascaperang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Achdiat K. Mihardja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan modern. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
|
d. Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim Lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Karya penyutradaraannya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Ia juga berakting dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962) dan The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser teater rakyat Sunda. Jim Lim juga menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950).
Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada 1967, ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).
Pusat kesenian Taman Ismail Marzuki yang didirikan oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada 1970 menjadi pemicu meningkatnya aktivitas dan kreativitas berteater di Jakarta dan kota besar lainnya, seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, dan Ujung Pandang. Taman Ismail Marzuki menerbitkan enam puluh tujuh judul lakon yang ditulis oleh tujuh belas pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus.
Tokoh-tokoh teater yang muncul pada 1970-an lainnya adalah Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum, dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (Teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.
e. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus dan dewan kampus merupakan akibat peristiwa Malari 1974. Dalam latar situasi seperti itu lahirlah beberapa kelompok teater dari festival teater. Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antara lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung. Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit.
Aktivitas teater terjadi juga di kampus. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik dalam teater.
f. Teater Kontemporer Indonesia
Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak 1980-an sampai saat ini. Meskipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.